Minggu, 12 Oktober 2008

Jembatan SIAK

Jembatan Siak, Megah, Kokoh yang diresmikan oleh presiden SBY

Omzet Istana Siak Sehari Rp9 Juta


Salah satu potensi Kabupaten Siak Provinsi Riau adalah Kerajaan Siak yang dipinggirnya terdapat Sungai Siak membentang panjang dan luas. Buktinya, omzet dari Istana Siak dalam satu hari mampu mencapai Rp9 juta perhari.
Kepala Pengurus Istana Siak, Zainuddin menyebutkan, selama lebaran perharinya mampu meraup uang pengunjung rata-rata sebanyak Rp 9 juta. Namun untuk dihari biasa omzet objek wisata Istana Siak terkumpul sekitar Rp2-3 juta.
“Setiap hari besar kurang lebih omzet uang masuk di objek Istana Siak ini rata-rata Rp9 juta, namun di hari biasa sekitar Rp2-3 juta,” tuturnya.
Penyambutan para petugas Istana penuh dengan tatakrama san senyum. Begitu pengunjug akan memasuki Istana Siak, petugas pun langsung mengingatkan untuk menitipkan sandal dan sepatu. Tentunya aturan tersebut sudah merupakan aturan peninggalan di masa kerajaan siak masih berdiri.
“Kalau maun masuk Istana sandal dan sepatu harus dilepas dan dititipkan untuk menjaga budaya kerajaan sekaligus kebersihan,” jelasnya.
Pada dasarnaya, objek wisata Istana Siak dengan mudah dapat dijangkau dengan kendaraan roda dua dan empat dengan kondisi jalan aspal yang masih mulus. Ketika memasuki Perawang, tentunya perjalanan pun diawali dengan menyeberangi Sungai Siak dengan menggunakan jasa Kapal Veri. Sekitar 300 meter pengunjung akan menyeberangi Sungai Siak dengan waktu 15 menit. Setelah menyeberani Sungai Siak, kemudian langsung menuju pusat Kota Kabupaten Siak dengan jalan yang lurus bagaikan jalan tol. Tak jarang pengendara pun terasa bosan karena jalan tidak ada belokan atau tikungan. Dari penyeberangan Sungai Siak sampai pusat Kota kurang lebih lama perjalanan sekitar dua jam.
Ketika pengunjung akan memasuki pusat Kota Kabupaten Siak, langsung di sambut dengan Jembatan yang megah dan panjang dengan kelas internasional. Jembatan yang tangguh itu sengaja dibangun untuk mempermudahkan jalur tranportasi masyarakat dalam meningkatkan pertumbuhan perekonomian.
Tak jarang, setiap orang yang melewati jembatan Sungai Siak itu pasti berhenti sejenak melepaskan pemandangan di bawah sambil melihat aliran sungai Siak yang membentang luas. Dua jam sekali terlihat kapal angkutan barang industri melintasi Sungai Siak. Di samping kanan kiri jembatan tersebut terlihat tidak ada warga setempat yang membuka perdagangan. Hal ini karena memang dilarang oleh pihak pemerintah setempat demi menjaga kenyamanan para pelintas jembatan.
Jika dilihat, corak adat masyarakat Kabupaten Siak masih kental dengan Melayu. Bahasa yang digunakan perhari-hari pun tak jauh beda dengan bahasa orang minang di Sumatera Barat. Begitu juga dengan cara pakaian adatnya, susah untuk membedakan antara Melayu dan Miangkabau. Yang jelas, dua suku ini serumpun yang tidak bias terpisa dan selalu berkaitan dari sisi budaya dan kultur kehidupan sosial.
Nilai-nilai Islam pun dijunjung tinggi sebagaimana pesan moral yang terpampang diberbagai persimpangan jalan utama. “Orang Melayu selalu menjunjung tinggi nilai-nilai agama Islam.” Budaya berdagang juga sudah menjadi ciri masyarakat Siak, dan umumnya para pedagang itu dari Sumatera Barat. Tentunya, santapan makan Sate Ajo asal Pariaman dan rumah makan ampera juga terlihat berjejeran mengisi pasar Kota Kabupaten Siak. (Perjalanan Jurnalisitk Iswanto JA)
Catatan. Foto dan Narasi Iswanto JA

“Istana Matahari Timur” Bersinar


Istana Siak adalah bukti sejarah kebesaran kerajaan Melayu Islam yang terbesar di Daerah Riau. Masa jaya Kerajaan Siak berawal dari Abad ke 16 sampai Abad ke 20, dan silsilah Sultan-sultan Kerajaan Siak Sri Indrapura dimulai pada tahun 1723 M dengan 12 Sultan yang pernah bertahta. Kini, kita dapat melihat peninggalan kerajaan berupa kompleks Istana Kerajaan Siak yang dibangun oleh Sultan Assyaidis Syarif Hasyim Abdul Jalil Syaifuddin pada tahun 1889 M dengan nama Asserayyah Al Hasyimiah.

Pembangunan Istana Asserayyah Al Hasyimiah yang disebut juga “Istana Matahari Timur” dilakukan oleh arsitek dari Jerman yang mengadopsi gaya arsitektur Eropa, India dan Arab dengan perpaduan Melayu Tradisional. Keindahan Istana yang dihiasi sepasang burung Elang menyambar dengan mata yang memancar tajam yang terbuat dari perunggu dan pada empat buah pilar Istana di ujung puncaknya. Burung elang ini merupakan tanda kebesaran dan keberanian serta kemegahan Kerajaan Siak pada masanya. Selain itu, keindahan Istana juga terlihat pada dinding yang dihiasi dengan keramik dari Eropa dan ruangan-ruangn yang terdapat di dalam Istana serta benda-benda koleksi peninggalan Kerajaan Siak.

Dari berbagai koleksi benda peninggalan Kerajaan Siak tersebut, konon Kursi keemasan yang penuh dengan ukiran yang indah dari bahan kuningan berbalut emas sempat hilang dari dalam kerajaan. Namun kursi Kerajaan Siak itu pun kembali ditemukan di Pekanbaru. Kini kursi kerajaan Siak tersebut dikonservasi kembali oleh museum nasional Jakarta. (Perjalanan Jurnalisitk Iswanto JA) Catatan. Foto dan Narasi Iswanto JA

Kerajaan Siak Bersatu Membangun NKRI


Kerajaan Siak Sri Indrapura didirikan pada tahun 1723 M oleh raja Kecik yang bergelar Sultan Abdul Jalil Rakhmat Syah yang merupakan putera Raja Johor (Sultan Mahmud Syah) dari istrinya Encik Pong. Awalnya, Kerajaan Siak berpusat di daerah buatan dan konon Nama Siak berasal dari nama yang sejenis tumbuh-tumbuhan yaitu siak-siak yang banyak terdapat di situ.

Pada awal tahun 1699 M, Sultan Kerajaan Johor yang bergelar Sultan Mahmud Syah II mengkat kerena dibunuh oleh Magat Sri Rama. Istri Sultan yang bernama Encik Pong, pada waktu itu sedang hamil dan dilarikan ke Singapura dan terus ke Jambi. Dalam perjalanan itu lahirlah Taja Kecik yang kemudian dibesarkan di Kerajaan Pagaruyung Minangkabau.

Sedangkan kepemimpinan Kerajaan Johor diambil alih oleh Datuk Bendahara Tun Habib yang Riayat Syah. Setelah Raja Kecik dewasa, pada tahun 1717 M Raja Kecik berhasil merebut Tahta Johor. Tetapi, tahun 1722 M Kerajaan tersebut direbut kembali oleh Tengku Sulaiman ipar Raja Kecik yang merupakan putera Sultan Abdul Jalil Riayat Syah.

Dalam merebut aKerajaan Johor, Tenku Sulaiman dibantu oleh beberapa bangsawan Bugis. Perang saudara ini mengakibatkan kerugian yang cukup besar pada kedua belah pihak, untuk menghentikan perang saudara ini, maka kedua belah pihak akhirnya masing-masing mengundurkan diri ke Bintan dan seterusnya mendirikan negeri baru di pinggir sungaiBuantan (anak Sungai Siak). Demikianlah awal berdirinya kerajaan Sian di buantan.

Selama lebih dari 29 tahun pemerintah di Buantan, Sultan Abdul Jalil Rakhmad Syah yang di Pertuan Raja Kecil (1723-1746 M) telah menenmpatkan dasar dari sebuah kerajaan yang kelak akan berkembang di bawah pemerintahan keturunannya.
Selain itu, Sultan juga menjadikan Agama Islam sebagai agama kerajaan yang bermahzab Syafei, dan seluruh tata Adat diatur menurut Hukum Syarak. Sultan mempunyai tiga orang putera yaitu, Tangku Alam bergelar di Pertuan Muda, Tengku Tengah (meninggal sebelum dewasa-red) dan Tengku Buang Asmara bergelar Tengku Mahkota. Namun dikahir hayatnya, meletuslah perang saudara di antara kedua puteranya akibat berselisih faham.

Hal ini menyebabkan Tengku Alam yang di Pertuan Muda (putera tertua) meninggalkan Buantan dan akhirnya Sultan mangkat pada tahun 1746 M dan diberi gelar Marhum Buantan. Pemerintahan Kerajaan Siak pun dilanjutkan oleh Tangku Buang Buantan atau Tengku mahkota dengan gelar Sultan Abdul Jalil Muzaffar Syah (1746-1765 M). Setelah beliau memerintah selama kurang lenih 19 tahun, pada tahun 1765 M beliau mangkat dan diberi gelar Marhum Mempura Besar.

Tengku Ismail dengan gelar Sultan Jalil Alamuddin Syah (1765-1766 M), menggantikan Sultan Ayahandanya yaitu Sultan Abdul Jalil Muzaffar Syah. Beliau tidak lama dalam memerintah kerajaan Siak, karenas etahun setelah dinobatkan sebagai Sultan Pengganti ayahandanya yaitu, Marhum Mempura Besar, pihak Belanda datang dan menggulingkannya. Beliau akhirnya mengungsi ke Pelalawan, sedangkan Belanda melantik Tengku Alam (yang kemudian menjadi Sultan IV) sebagai penggantinya. Namun, Sultan Abdul Jalil Jalaluddin Syah kembali merebut Kerajaan Siak dan memindahkannya kembali ke Mempura.

Setelah mangkat beliau diberi gelar dengan sebutan Marhum Mangkat Di Balai.
Tengku Alam dengan gelar Sultan Jalil Jalaluddin Syah (1766-1780 M) memerintah Kerajaan Siak dari Senapelan (Pekanbaru). Beliau mangkat pada tahun 1780 M di Senapelan dengan gelar Marhum Bukit dan digantikan oleh anaknya Tengku Moh Ali dengan gelar Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazzam Syah (1780-1782 M). Beliau dikenal sebagai pendiri Kota Pekanbaru dan diberi gelar Marhum Pekan pada saat Beliau mangkat.

Setelah Kerajaan Siak direbut kembali oleh Tengku Ismail, pemerintah Kerajaan Siak dilanjutkan oleh Tengku Sulong Bin Sultan Ismail dengan gelar Sultan Yahya Abdul Jalil Muzaffar Syah pada tahun (1782-1784 M) yang memerintah di Mempura. Beliau pun mangkat di Dungun pada tahun 1784 M dengan gelar Marhum mangkat di Dungun. Said Ali yang telah merebut Kerajaan SIak memerintah pada tahun 1784-1810 M dengan gelar Sultan Assyaidis Syarif Ali Abdul Jalil Syaifuddin Baalawi. Pada masa beliau inilah Kerajaan Siak mencapai puncak gemilang. Beliau mengkat pada tahun 1810 M dan diberi gelar dengan sebutan marhum Kota Tinggi.

Sultan Assyaidis Syarif Ibrahim Abdul Jalil Khaliluddin (1810-1827 M) menaiki tahta kerajaan menggantikan ayahandanya Sultan Assyaidis Syarif Ali Abdul Jalil Syaifuddin Baalawi. Beliau mangkat diberi gelar Marhum Mempura Kecil.
Pemerintah Kerajaan Siak dilanjutkan oleh Sultan Said Ismail dengan gelar Sultan Assyaidis Syarif Ismail Abdul Jalil Jalaluddin (1827-1864 M0. Beliau bukan merupakan keturunan Sultan Assyaidis Syarif Ibrahim Abdul Jalil Khaliluddin melainkan menantu dari Sultan Said Ali. Pada masa beliau pusat Kerajaan Siak dipindahkan ke Kota Siak Sri Indrapura. Beliau mangkat dan diberi gelar Marhum Indrapura.
Selanjutnya, Sultan Assyaidis Syarif Kasyim Abdul Jalil Saifuddin (1864-1889 M) yang memerintah Kerajaan Siak. Pada masa beliau, Mahkota Kerajaan Siak dibuat, sehingga pada saat beliau wafat dianugerahi gelar Murham Mahkota.

Pada masa Sultan ke XI yaitu Sultan Assyaidis Syarief hasyim Abdul Jalil Syaifuddin yang memerintah pada tahun 1889-1908 M, dibangunlah IStana yang megah di Kota Siak. Istana ini diberi nama Istana Asserayyah Al Hasyimiah yang dibangun pada tahun 1889 M. Beliau juga mendirikan Balai Kerapatan Tinggi ataupun Balairung Sri yang dijadikan ruang kerja Sultan, Aparatur Pemerintahan serta tempat Penobatan dan Makamah Pengadilan.

Pada tahun 1908 M, Beliau mangkat. Beliau digantikan oleh puteranya yang pada saat itu masih kecil, dan baru pada tahun 1915 M, Putra Sultan Assyaidis Syarif Hasyim Abdul Jalil Syaifuddin yang bernama Tengku Sulung Syarif Qasim ditabalkan sebagai Sultan Siak ke XII dengan gelar Assyaidis Syarif Qasim Abdul Jalil Syaifuddin dan terakhir terkenal dengan nama Sultan Syarif Qasim Tsani (Sultan Syarif II).
Bersamaan dengan diproklamirkannya Kemerdekaan Indonesia, Beliau pun mengibarkan Merah putih di Istana Siak dan tak lama kemudian beliau berangkat ke Tanah Jawa menemui Bung Karno dan menyatakan bergabung dengan NKRI sambil menyerahkan mahkota kerajaan serta uang sebesar sepuluh ribu Gulden. Sejak itu beliau meninggalkan Siak dan bermukim di Jakarta. Tahun 1960 M beliau kembali ke Siak dan mangkat di Rumbai tahun 1968 M yang diberi gelar Marhum Mangkat Di Rumbai. Beliau tidak meninggalkan keturunan baik dari permaisuri pertama Tengku Agung maupun dari permaisuri kedua Tangku Maharatu.

Pada tahun 1997 Sultan Syarif Kasyim II mendapat gelar kehormatan Kepahlawanan sebagai seorang Pahlawan Nasional Republik Indonesia. Makam Sultan Syarif II ini terletak di tengah Kota Siak Sri Indrapura tepatnya di Samping Mesjid Sultan yaitu, Mesjid Raya Syahbuddin. (Perjalanan Jurnalisitk Iswanto JA) Catatan. Foto dan Narasi Iswanto JA

Saudagar Minang untuk Saudara (?)


Oleh: Iswanto JA
Penulis adalah Putra Djogja tinggal di Padang

Ketika dibagian daerah Provinsi Sulawesi diporak-porandakan dengan bencana longsor dengan skala besar, para putra daerah yeng menyebar diberbagai daerah pun pulang kampung dengan memberikan bantuan uang ratusan juta rupiah. Seperti yang dilakukan Fadli, seorang vocalis Group Padi Band. Fadli pulang kampung dengan membawa ratusan juta uang untuk disumbangkan di kampung halamannya yang rata tertimbun tanah akibat bencana banjir bandang. Aksi sosial Fadli pun disambut dengan gubernur dan bupati setempat karena bangga dengan putra daerah yang sukses tapi tidak lupa dengan kondisi saudaranya di kampung.
Begitu juga dengan Ebit G. AD, ketika Jawa Tengah diratakan dengan gempa bumi, sumbangan ratusan juta mengalir dari kantong pribadinya. Akhirnya, gerakan Ebit sebagai putra daerah pun mampu membendung tetesan air mata saudaranya yang tinggal di Jawa Tengah. Lantunan lagu yang bercerita alam yang diciptakannya itu juga mampu memberi ketenangan batin saudaranya untuk segera bangkit dari kegelisahan dan kesedihan. “Mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita yang selalu sombong dan bangga dengan dosa-dosa.” Itulah sepenggal bait lagu pengobat hati yang dihadiahkan buat orang kampung Ebit yang sedang gundah!
Nah kini, penulis melihat ada satu etnis yang unik dengan tradisi merantau dan pulang kampung membangun nagari. Tentunya suku Minangkabau yang mayoritas terletak di Sumatera Barat kini sedang menggelar Pesta Rakyat Membangun Kampung yang lebih dikenal dengan Silaturahmi Saudagar Minang (SSM). Sebuah acara skala internasional karena yang datang para saudagar atau labih favoritnya para konglomerat Miangkabau dari berbagai manca negara.
Para sudagar Minang itu datang tentunya dengan mobil yang mengkilat, jabatannya pun berentetan melekat pada namanya. Sudah pasti, mereka datang juga membawa ide dan sekabek piti (banyak uang). Dua tahun acara digelar, namun benarkah akhir pertemuan saudagar itu menyentuh saudaranya yang ada di nagarinya?
Ketika Sumbar digoncang gempa yang sempat memporak-porandakan Silunang-Silaut Kabupaten Pesisir Selatan juga Kabupaten Kepulauan Mentawai, sedikit pun tidak ada saudagar Minang yang datang membangun nagarinya yang rata karena bencana alam. Padahal, sanak-saudara yang tertimpa musibah itu menunggu uluran kasih persaudaraan dari orang anak nagari konon banyak yang sukses?
Sebagai orang Jawa penulis sangat tertarik dengan acara yang di gelar orang Minang (SSM) dengan menghadirkan pengusaha sukses. Sebab, dalam jadwal acara tersebut berangkai acara yang bertujuan untuk membangun nagari, seperti, pendidikan, ekonomi, kemiskinan dan pengangguran.
Bagi orang Jawa juga ada acara tersebut yaitu, wong gede ngumpul atau kumpulan wong gede (orang besar berkumpul). Biasanya, bagi orang Jawa jika ada perkumpulan besar menandakan kondisi lagi rumit atau genting dan harus didsikapi secara cepat dan tanggap. Bedanya, yang datang pada kumpulan orang Jawa itu bukan orang kaya, melainkan para Kiyai, Tokoh Masyarakat untuk berkumpul mengeluarkan ide. Gaya yang dipakai juga berpakaian sarung dan belangkon apa adanya.
Penulis tidak sentimen dengan acara orang gede di Minangkabau seperti SSM untuk merapatkan barisan membangun nagari. Tapi tentu banyak yang ingin tahu dengan prinsip merantau bagi orang Minang. Benarkah untuk menjadi orang sukses atau kaya bagi orang Minang harus Merantau? Lalu, konsep merantau bagi Minang sebenarnya seperti apa? Benarkah jika mereka sukses pulang membangun kampungnya? Selain itu, orang Minang sendiri merantau itu apakah karena unsur tekanan ekonomi atau memang sudah budayanya?
Selama ini penulis mendengar dan membaca dari berbagai literature buku Minangkabau, bahwa orang Minangkabau itu merantau pada dasarnya untuk menuntut ilmu dari nagari ke nagari, tentunya belajar ilmu agama. Mereka orang Minang merantau menuntut ilmu sambil membantu masyarakat setempat untuk menambah kebutuhan hidup sehari-hari. Di Pondok pesantren, para santri Minangkabau juga selalu mencari pekerjaan sambilan, baik membantu masyarakat ke sawah, berjualan dan lain sebagainya.
Sudah dua tahun SSM digelar, tentunya masyarakat Minangkabau ingin mengetahui apa yang akan dilakukan untuk membangun nagari. Tentunya perkumpulan tersebut tidak hanya sekedar silaturahmi dengan memaerkan jabatan dan hartanya serta cerita bisnis ke bisnis. Tapi secepat mungkin melirik kondisi masyarakat yang tertimpa musibah bencana sampai saat ini juga belum teratasi.
Tentunya, target dari SSM tersebut mampu menanggulangi para korban bencana gempa untuk sesegra mungkin melakukan sentuhan kasih persaudaraan antara sudagar dengan saudara. Sebab, sampai saat ini media massa di Sumbar selalu bertetiak tentang kualitas pendidikan, ekonomi, kemiskinan, dan pengangguran, namun sepertinya hanya sekedar dibaca sebagai bahan informasi baku. Sedangkan yang diharapkan orang kampung nagari adalah sikap dan komitmen orang rantau untuk turut andil bagian dalam mengatasi masalah sosial yang kian kompleks.
Semoga, Sumbar bangkit dengan berbagai ide yang dilahirkan para pengusaha sukses di hotel berbintang dalam beberapa hari. Penulis yakin, yang menghadiri SSM adalah orang intelektual sekaligus juga mempunyai modal yang cukup untuk membangun Sumbar menatap masa depan yang cerah. (Penulis Mahasiswa IAIN Imam Bonjol Padang, Putra Djogja tinggal di Padang)

Selasa, 07 Oktober 2008

Perselingkuhan Mahasiswa dengan Penguasa

Iswanto JA

Iswanto JA

(Analisa Aksi Demonstrasi Radikal)

Oleh Iswanto. JA

DEMONSTRASI……! Suara lantang dari arah kampus tak pernah henti meggemah dengan yel-yel memperjuangkan reformasi, keadilan dan perdamaian. Semua rakyat kampus pro dengan yang namanya reformasi. Sekali komando lapangan dan orator menyeru aksi demonstrasi, berjubelan mahasiswa berkumpul bagaikan tentara siap diberangkatkan untuk perang. Sebagian mahasiswa yunior yang tidak tahu konsep dan misi aksi pun mengepal tangan untuk melalukan perubahan sebagaimana diteriakan sang orator.

Sepekan ini, hampir semua media massa menjadikan head line (berita utama) atas aksi bentrok yang dilakukan mahasiswa Universitas Haluoleo di Kendari, Sulawesi Tenggara. Aksi damai yang dilakukan mahasiswa dari Kampus Baru Unhalu itu ternyata berubah menjadi malapetaka yang tak pernah direncanakan. Saling pukul, saling lempar, adu jotos antara aparat kepolisian dengan mahasiswa nyaris menjadi sejarah potret hitam di tubuh perguruan tinggi dan penegak hukum. Harus disadari, perguruan tinggi dan aparat kepolisian tidak pernah memberikan pendidikan anarkis serta kekerasan. Begitu juga dengan agama, bahwa semua agama menolak dan anti dengan kekerasan. Bukankah mereka yang terlibat aksi bentrok itu manusia yang beragama dan berbudaya?

Jika kita analisa dari permasalahan atas aksi mahasiswa tersebut, awalnya dari pernyataan sikap protes terhadap kebijakan Walikota Kendari yang dianggap gagal dalam menjalankan roda pemerintahan. Kita semua mahasiswa sepakat, artinya bahwa mahasiswa sampai sekarang masih menjadi agent of change dan agent of control atas segala kebijakan sepihak yang diambil pemerintah. Pertanyaannya, apakah misi mereka (mahasiswa) menjalankan aksi protes itu berdasarkan dengan nurani sebagai anak bangsa yang sejati?

Sekedar asumsi, kini secara diam-diam banyak para aktivis mahasiswa yang melakukan “perselingkuhan” dengan penguasa. Artinya, tidak jarang gerakan mahasiswa “dibingkai” dengan gerakan (ide) para elit politik. Lihat saja aksi bentrok mahasiswa Unhalu, ternyata terjadi dua kubu saat hari wisuda Kampus Unhalu dilaksanakan. Kubu pertama dari Barisan Penyelamat Kampus (BPK) yang dipimpin Andre Dermawan dan kedua kubu BEM. Saat terjadi aksi bentrokan, kubu dari BEM berteriak, bahwa sebagian besar massa BPK dari kalangan preman yang dibayar Walikota Kendari, yaitu Asrun.

Ternyata, gerakan demonstrasi warisan aktivis 1998 itu masih menjadi sumber inspirasi dari generasi ke generasi. Kita akui, gerakan demonstrasi besar-besar pada tahun 1998 menuai hasil meski semua itu dilalui dengan percikan darah dan kehancuran berbagai harta benda. Pertanyaannya, haruskah mahasiswa era reformasi masih “berkiblat” pada gerakan aktivits mahasiswa 1998 yang penuh dengan kehancuran itu?

Kita sebagai mahasiswa boleh saja menjadikan gerakan 1998 itu sebagai sumber inspirasi atau sejarah terbesar gerakan mahasiswa, tapi bukan berarti gerakan turun ke jalan saat ini sebagai gerakan pamungkas dalam menyampaikan kontrol atau kritik terhadap permasalahan yang ada. Penulis menilai, bahwa demonstrasi (turun ke jalan) sebagai jalan ke tiga gerakan mahasiswa saat ini. Alasan yang sederhana, aksi turun ke jalan untuk saat ini kita akui sangat rawan dengan kekerasan. Mudahnya provokasi atau kalangan premanisme masuk ke dalam barisan aksi tersebut banyak menimbulkan kericuhan. Sejauh ini, baik koordinator lapangan maupun orator tidak bisa mengidentifikasi atau mengklrarifikasi masing-masing individu demonstran yang tergabung dalam aksi. Kini sudah saatnya permasalahan yang ada dapat diselesaikan dengan cara ilmiah. Sebab mahasiswa dilahirkan dari kampus yang didik dengan cara ilmiah. Tetapi yang terjadi permasalahan itu masih diselesaikan dengan cara kekerasan yang semua itu kita “kutuk” bersama.

Para elit politik, juga sering bermain di belakang layar atas aksi mahasiswa yang turun ke jalan. Para elit politik memberikan biaya aksi kepada mahasiswa untuk turun ke jalan dengan misi politik kapitalisme meski yang dihadapi masalah sosial, keadilan, ekonomi dan budaya. Sudah menjadi rahasia umum dalam proses pemilihan kepala daerah (pilkada) dan sebagainya. Bahwa dalam proses pilkada tersebut tentu adanya lawan politik terhadap masing-masing kandidat. Meski pilkada sudah selesai dan berhasil memenangkan satu calon, tapi calon yang kalah tidak mau menerima apa adanya. Maka setiap pilkada di Indonesia selalu diwarnai aksi ricuh dan protes dari berbegai kelompok bayaran. Pergulatan politik pun masih terus berlanjut meski pilkada sudah selesai. Berbagai komentar dan pengamat terus menilai dan mencari celah kesalahan atas proses kepemimpinan kepala daerah yang terpilih. Ketika lawan politik mendapat celah atau secuil kegagalan bagi seorang kepala daerah, sudah pasti lawan politik pun menggerakan massa untuk melakukan aksi, baik dalam bentuk proses turun ke jalan atau banyak aksi lainnya.

Dalam aksi inilah, para elit politik memainkan perannya dengan mengundang para aktivis mahasiswa dari berbagai organisasi baik inetern maupun ekstern kampus. Rantai politik pun selalu bergerak untuk mendapatkan kepentingan kelompok, apalagi yang menjadi barisan terdepan dari kalangan mahasiswa. Ketika aksi protes dipelopori mahasiswa, tentu semua itu sulit dibaca meski oleh masyarakat meski diakhir pergerakan tercium juga. Penulis; Mahasiswa IAIN Imam Bonjol Padang, Mantan Pemimpin Umum Tabloid Mahasiswa SUARA KAMPUS IAIN Imam Bonjol Padang. Aktivis Pergerakan Mahasiswa Kota Padang

Kamis, 07 Februari 2008

PROFIL ISWANTO. JA

Iswanto. JA -- Lahir di S3 Aek Nabara Selatan 7 November 1981 Sumatera Utara. Pria suku Jawa asal jawa Tengah ini tak lebih sama dengan anak-anak lainnya. Di masa kecilnya sejak mengenyam pendidikan SD mulai dari kelas 1 sampai 5 juara satu. Kemudian dia harus pindah ke kampung halaman tepatnya di dusun Kalibening Desa Binanga Dua Kecamatan Silangkitang. Di Dusun Tanjung Beringin Desa Binanga Dua Kecamatan Silangkitang dia menamtkan pendidikan SD-nya. Kemudian ia melanjutkan jenjang pendidikannya di Pesantren dan MTs yayasan Perguruan Alliful Ikhwan Setia Abang Adik Kecamatan Silangkitang. Kemudian dilanjutkan sampai madrasah aliyah tempat yang sama. Kelas II aliyah sosok anak petani ini terpilih menjadi ketua OSIS. Diakhir jabatan OSIS-nya dia melakukan aksi unjuk rasa terhadap sekolahnya yang ditujukan kepada kepala sekolah dan ketua yayasan. Ancaman berat pun menghadangnya, yakni akan dipecat dari sekolah tersebut. Namun masalah internal sekolah pun bisa diselesaikan dengan bijak dan akhirnya ISwanto. JA berhasil menematkan jenjang pendidikan Madrasah Aliyah.
Setelah menamatkan pendidikan aliyah akhirnya Iswanto. JA yang akrab di panggil iwan itu pergi ke kota padang untuk meneruskan pendidikannya di perguruan tinggi. Tertuju pilihannya pada perguruan tinggi negeri yaitu IAIN Imam Bonjol Padang. Namun dia hanya mengambil program Diploma II jurusan Jurnalistik & Humas. Nyalinya sangat kuat untuk menjadi seorang jurnalis handal. Dua tahun kemudian dia pun menamatkan pendidikan Diploma II dengan menyandang gelar Ahli Muda.
Belum puas rasanya kemudia dia melanjutkan pada program S-1 jurusan Komunikasi Penyiaran Islam. namun pada jenjang S-1 ini banyak waktunya dihabiskan di organisasi, speri HMI, PMII, Tabloid Mahasiswa SUARA KAMPUS. Diskusi pun sering dilakukan disetiap pertemuan organisasi serta seminar diberbagai daerah ibukota provinsi. Dua tahun kuliahnya terbengkalai untuk mempertajam intelektual dan daya kritis.
Kini dia sedang menyibukkan diri untuk menyelesaikan kuliahnya mengingat besar harapan orang tuanya agar secepatnya menyandang gelar kesarjanaan. di samping menyibukkan diri aktif kuliah, dia kini juga mengabdikan diri pada media cetak (koran) terkemuka di Sumatera Barat, yatu Harian Pagi Padang Ekspres sebagai tenaga Lay Outer. Semoga Sukses Iswanto. JA.