Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Judul : Bisakah Tuhan Dipercaya?
Pengarang : John G. Stackhouse JR
Penerbit : PT Buana Ilmu Populer
Terbit : Juni 2008
Tebal : ix-239
Apa yang terbesit dalam diri kita ketika mayoritas ulama yang ada di Indonesia menganalisa, bahwa bencana alam gempa dan tsunami di Aceh itu murka Tuhan? Benarkah Tuhan murka kepada orang-orang yang ada di tanah Rencong itu karena mereka selalu berbuat zalim dan kufur?
Sontak seorang pemikir muda Pembaharuan Islam, Ulil Abshar Abdallah yang lebih dikenal dengan pemikiran Islam liberal itu dalam bukunya “Menjadi Muslim Liberal” menyatakan bahwa Tuhan itu jahat. Alasannya, jika memang mereka orang Aceh melakukan kejahatan, zalim dan kufur, cukuplah Tuhan membinasakan yang melaklukan perbutan tercela itu. Namun bagaimana dengan anak-anak atau bayi yang tidak tahu apa-apa dan akhirnya harus menjadi korban kejahatan Tuhan lewat gempa dan tsunami itu. Kalau begitu Tuhan benar-benar kejam atau Tuhan sedang prustasi!
Maka timbul pertanyaan yang sangat signifikan, benarkah Tuhan Maha Kuasa? Jika memang Tuhan Maha Kuasa, mengapa Tuhan selalu membiarkan kejahatan di muka Bumi ini? Oleh karena itu, mungkin sang ilahi itu sepenuhnya baik, tetapi tidak cukup berkuasa untuk mencegah semua kejahatan. Sebaliknya, mungkin sang ilahi itu mahakuasa, tetapi merupakan perpaduan kebaikan dan kejahatan. Pilihan ini berupa Tuhan Yang Maha Kuasa, yak tak seorang pun dapat menyebut-Nya baik atau jahat, tetapi Dia adalah Tuhan yang jauh dan bahkan, mungkin, pada dasarnya bukan suatu pribadi (impersonal).
Dalam buku ini, John G Stackhouse JR, mengambil pendekatan yang lebih mendalam melampaui Rabi Kushner, M Scott Peck, dan para penulis lainnya, menguji apa kata para filsuf dan teolog mengenai hal ini dan memberikan jawaban yang menenangkan bagi siding pembaca yang bijak.
John Stackhouse mengamati bagaimana para pemikir besar bergumul dengan masalah kejahatan besatr ini-mulai dari Buddha, Confusius, Agustinus, dan David Hume hingga Martin Luther, C.S Lewis, Alvin Plantinga dan sebagainya. Hal ini mendasarkan analisis mereka pada contoh sehari-hari. Tanpa mengabaikan kontradiksi serius karena Tuhan Maha Baik yang mengizinkan adany apenyakit mematikan, bencana alam, cacat lahir, dan kejahatan keji yang membawa penderitaan akan menjadi hidup yang paling berarti? Apakah kehendak bebas akan tetap ada jika kita hanya memilih yang baik saja?
Stackhouse menguji pertanyaan ini secara jelas dan bernas, serta secara tegas mengukuhkan bahwa manfaat kejahatan sesungguhnya melebihi harga yang harus dibayar. Buku ini menantang kita untuk memikul tanggung jawab atas segala tindakan kita, menguji kembali “cetak biru surgawi” kita dengan bebas keputusasaan yang lebih ringan, dan merangkul iman kita penuh pengertian. Iswanto JA, Peminat dan Penikmat Islam Pural-Liberal
Berita dalam Bingkai Sastra
Padang Ekspres-Minggu, 03 Agustus 2008
Profesi jurnalis kini semakin diminati banyak orang dengan latar belakang yang berbeda. Ternyata untuk menjadi seorang jurnalis (wartawan) tidak harus menyandang gelar sarjana jurnalistik atau komunikasi, tapi sesesorang itu punya komitmen dan kreativitas dalam dunia tulis-menulis dengan analisa yang tajam dan kritis. Bahkan, dunia pers kini malah dijadikan sebagai jalur pekerjaan yang positif bagi seorang sarjana.
Malangnya, meski banyak wartawan di Indonesia tapi justru kondisi isi media massa baik elektronik terlebih cetak sangat memprihatinkan. Media cetak saat ini hanya mampu memberikan sajian informasi sementara tanpa didukung data yang lebih banyak serta diimbangi dengan bahasa yang bisa membawa khalayak lebih cerdas. Bahasa berita koran pasca-lengsernya Orde Baru terkesan membosankan, sehingga khalayak (pembaca) tidak betah untuk menggenggam koran dalam waktu lama.
Ternyata, di samping berita harus faktual dan aktual, bahasa sastra juga mempengaruhi nilai berita. Masalah yang dihadapi media cetak saat ini adalah kurang menariknya mengulas bahasa dalam membuat berita. Sehingga pembaca cukup dengan membaca judul atau lead berita sudah merasa puas. Sependapat apa yang dikatakan Andreas Harsono dalam buku Jurnalisme Sastrawi, bahwa sastra merupakan ruh atau tulang punggung dari media cetak itu sendiri. Tanpa ada bahasa atau nilai-nilai sastra yang terkandung dalam media cetak (koran) sama halnya media tanpa ruh. Kehidupan Koran itu pada dasarnya terletak pada bahasa dan nilai-nilai sastra.
Dalam buku ini, seorang wartawan investigasi yang sudah cukup memiliki modal bahasa mengungkapkan beberapa kasus (peristiwa) dengan panjang dan jelas. Di samping itu, didukung dengan data fakta yang akurat. Meski beritanya panjang, namun bahasa sastra yang lugas tidak membuat para khalayak bosan untuk membacanya sampai tuntas. Bahkan, dengan gaya bahasa yang khas itulah pembaca dibawa “hanyut” dan kosentrasi dengan waktu yang lama dalam menikmati sajian informasi peristiwa dibawa alam sadar.
Seperti peristiwa teror bom yang meledak di emplasemen Atrium Plaza, Jakarta pada 1 Agustus 2001. Untuk mendapatkan hasil berita yang mendalam seorang reportase Taufik Andrie dan Agus Sopian harus gigih mengumpulkan data selama satu tahun. Pekerjaan yang melelahkan itu ternyata menghasilkan laporan yang mampu mengungkap pelaku jariangan teroris bom saat itu.
Laporan dengan sajian bahasa yang menarik tanpa meninggalkan fakta dan data akurat itu menjadi serbuan para khalayak untuk mengetahui secara kronologis atas insiden bom itu. Membaca laporan dua reportase professional tersebut, bagaikan membaca sebuah novel. Bahasanya yang menyentuh dan seimbang dan tidak membingungkan tanpa ada unsur provokasi.
Hasil laporan dan penulisan berita dan buku ini dapat menjadi acuan bagi para wartawan baik pemula maupun yang sudah bangkotan bertahun-tahun berkecimpung di dunia pers. Sehingga, sajian informasi dirasakan tidak kaku dan khalayak pun mempunyai penilaian dan analisa tersendiri terhadap informasi atau peristiwa yang disajikan oleh wartawan yang membuat berita.
Untuk saat ini, sangat minim sekali para jurnalis atau wartawan yang mampu menuliskan berita panjang dengan menggunakan bahasa yang nyaman dan dapat mencerdaskan khalayak. Hal ini tentunya perlu dilakukan kajian mendalam tentang seorang wartawan yang tidak mampu menuliskan berita dari suatu peristiwa dengan panjang dan gaya bahasa yang menarik. Indikasinya, mungkin seorang wartawan itu tidak mampu menuliskannya atau bahkan malas karena alas an keterbatasan ruang pada isi Koran itu sendiri. (mahasiswa IAIN Imam Bonjol Padang).
1 komentar:
Semoga sukses, kirim salam sama Kosim ya.
Posting Komentar