Selasa, 07 Oktober 2008

Perselingkuhan Mahasiswa dengan Penguasa

Iswanto JA

Iswanto JA

(Analisa Aksi Demonstrasi Radikal)

Oleh Iswanto. JA

DEMONSTRASI……! Suara lantang dari arah kampus tak pernah henti meggemah dengan yel-yel memperjuangkan reformasi, keadilan dan perdamaian. Semua rakyat kampus pro dengan yang namanya reformasi. Sekali komando lapangan dan orator menyeru aksi demonstrasi, berjubelan mahasiswa berkumpul bagaikan tentara siap diberangkatkan untuk perang. Sebagian mahasiswa yunior yang tidak tahu konsep dan misi aksi pun mengepal tangan untuk melalukan perubahan sebagaimana diteriakan sang orator.

Sepekan ini, hampir semua media massa menjadikan head line (berita utama) atas aksi bentrok yang dilakukan mahasiswa Universitas Haluoleo di Kendari, Sulawesi Tenggara. Aksi damai yang dilakukan mahasiswa dari Kampus Baru Unhalu itu ternyata berubah menjadi malapetaka yang tak pernah direncanakan. Saling pukul, saling lempar, adu jotos antara aparat kepolisian dengan mahasiswa nyaris menjadi sejarah potret hitam di tubuh perguruan tinggi dan penegak hukum. Harus disadari, perguruan tinggi dan aparat kepolisian tidak pernah memberikan pendidikan anarkis serta kekerasan. Begitu juga dengan agama, bahwa semua agama menolak dan anti dengan kekerasan. Bukankah mereka yang terlibat aksi bentrok itu manusia yang beragama dan berbudaya?

Jika kita analisa dari permasalahan atas aksi mahasiswa tersebut, awalnya dari pernyataan sikap protes terhadap kebijakan Walikota Kendari yang dianggap gagal dalam menjalankan roda pemerintahan. Kita semua mahasiswa sepakat, artinya bahwa mahasiswa sampai sekarang masih menjadi agent of change dan agent of control atas segala kebijakan sepihak yang diambil pemerintah. Pertanyaannya, apakah misi mereka (mahasiswa) menjalankan aksi protes itu berdasarkan dengan nurani sebagai anak bangsa yang sejati?

Sekedar asumsi, kini secara diam-diam banyak para aktivis mahasiswa yang melakukan “perselingkuhan” dengan penguasa. Artinya, tidak jarang gerakan mahasiswa “dibingkai” dengan gerakan (ide) para elit politik. Lihat saja aksi bentrok mahasiswa Unhalu, ternyata terjadi dua kubu saat hari wisuda Kampus Unhalu dilaksanakan. Kubu pertama dari Barisan Penyelamat Kampus (BPK) yang dipimpin Andre Dermawan dan kedua kubu BEM. Saat terjadi aksi bentrokan, kubu dari BEM berteriak, bahwa sebagian besar massa BPK dari kalangan preman yang dibayar Walikota Kendari, yaitu Asrun.

Ternyata, gerakan demonstrasi warisan aktivis 1998 itu masih menjadi sumber inspirasi dari generasi ke generasi. Kita akui, gerakan demonstrasi besar-besar pada tahun 1998 menuai hasil meski semua itu dilalui dengan percikan darah dan kehancuran berbagai harta benda. Pertanyaannya, haruskah mahasiswa era reformasi masih “berkiblat” pada gerakan aktivits mahasiswa 1998 yang penuh dengan kehancuran itu?

Kita sebagai mahasiswa boleh saja menjadikan gerakan 1998 itu sebagai sumber inspirasi atau sejarah terbesar gerakan mahasiswa, tapi bukan berarti gerakan turun ke jalan saat ini sebagai gerakan pamungkas dalam menyampaikan kontrol atau kritik terhadap permasalahan yang ada. Penulis menilai, bahwa demonstrasi (turun ke jalan) sebagai jalan ke tiga gerakan mahasiswa saat ini. Alasan yang sederhana, aksi turun ke jalan untuk saat ini kita akui sangat rawan dengan kekerasan. Mudahnya provokasi atau kalangan premanisme masuk ke dalam barisan aksi tersebut banyak menimbulkan kericuhan. Sejauh ini, baik koordinator lapangan maupun orator tidak bisa mengidentifikasi atau mengklrarifikasi masing-masing individu demonstran yang tergabung dalam aksi. Kini sudah saatnya permasalahan yang ada dapat diselesaikan dengan cara ilmiah. Sebab mahasiswa dilahirkan dari kampus yang didik dengan cara ilmiah. Tetapi yang terjadi permasalahan itu masih diselesaikan dengan cara kekerasan yang semua itu kita “kutuk” bersama.

Para elit politik, juga sering bermain di belakang layar atas aksi mahasiswa yang turun ke jalan. Para elit politik memberikan biaya aksi kepada mahasiswa untuk turun ke jalan dengan misi politik kapitalisme meski yang dihadapi masalah sosial, keadilan, ekonomi dan budaya. Sudah menjadi rahasia umum dalam proses pemilihan kepala daerah (pilkada) dan sebagainya. Bahwa dalam proses pilkada tersebut tentu adanya lawan politik terhadap masing-masing kandidat. Meski pilkada sudah selesai dan berhasil memenangkan satu calon, tapi calon yang kalah tidak mau menerima apa adanya. Maka setiap pilkada di Indonesia selalu diwarnai aksi ricuh dan protes dari berbegai kelompok bayaran. Pergulatan politik pun masih terus berlanjut meski pilkada sudah selesai. Berbagai komentar dan pengamat terus menilai dan mencari celah kesalahan atas proses kepemimpinan kepala daerah yang terpilih. Ketika lawan politik mendapat celah atau secuil kegagalan bagi seorang kepala daerah, sudah pasti lawan politik pun menggerakan massa untuk melakukan aksi, baik dalam bentuk proses turun ke jalan atau banyak aksi lainnya.

Dalam aksi inilah, para elit politik memainkan perannya dengan mengundang para aktivis mahasiswa dari berbagai organisasi baik inetern maupun ekstern kampus. Rantai politik pun selalu bergerak untuk mendapatkan kepentingan kelompok, apalagi yang menjadi barisan terdepan dari kalangan mahasiswa. Ketika aksi protes dipelopori mahasiswa, tentu semua itu sulit dibaca meski oleh masyarakat meski diakhir pergerakan tercium juga. Penulis; Mahasiswa IAIN Imam Bonjol Padang, Mantan Pemimpin Umum Tabloid Mahasiswa SUARA KAMPUS IAIN Imam Bonjol Padang. Aktivis Pergerakan Mahasiswa Kota Padang

Tidak ada komentar: